Revolusi Mental Yang Mental


Sejenak mari kita melihat ke ‘belakang’ sebelum apa yang terjadi akhir-akhir ini, terkait melemahnya kondisi perekonomian Indonesia, jatuhnya nilai rupiah atas dollar Amerika, PHK buruh, naiknya harga barang-barang, lesunya dunia industri dan meningkatnya kriminalitas.

Melihat ke belakang, begitu gegap gempita harapan rakyat Indonesia menyambut kehadiran pemimpin baru yang sederhana, merakyat dan mengusung ide ‘Revolusi Mental’ sebagai modal untuk memperbaiki kondisi Indonesia.

Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, sebagai rakyat apakah salah jika saya mengatakan;

  • Bahwa tidak cukup pemimpin yang merakyat, tapi yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyat.
  • Tidak cukup pemimpin yang sederhana, menghemat ratusan juta rupiah dengan naik pesawat komersil, tapi di saat yang sama melepaskan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah kepada asing dan menarik pajak kepada rakyat sebagai sumber kekayaan negara, tegas terhadap rakyat sendiri, tapi kurang tegas di hadapan para kapitalis asing.

Memang benar tidak ada manusia yang sempurna dan begitu beratnya tugas sebagai penguasa, membuat kita tidak boleh terburu-buru memberikan penilaian kepada penguasa atau para calon penguasa daerah yang belum setengah perjalanan membenahi bangsa ini.

Akan tetapi, sungguh mengherankan di balik ketidaksempurnaan dan beratnya tanggung jawab, orang berlomba-lomba untuk menjadi penguasa.

image

  • Lalu dengan bekal apa mereka memimpin?
  • Aturan seperti apa yang akan dihasilkan oleh ketidaksempurnaan seorang manusia?
  • Bagaimana mereka menanggung beratnya tanggung jawab di hadapan Allah SWT sebagai pemilik dan pengatur alam semesta?
  • Apakah mental seorang penguasa atau mental rakyat mampu memperbaiki kondisi negara yang terpuruk dalam banyak aspek?

Kesederhanaan, merakyat, tegas dan sifat-sifat positif lainnya sudah seharus dimiliki oleh seorang manusia, dikarenakan manusia adalah makhluk yang paling sempurna dengan adanya akal yang Allah SWT berikan padanya. Lebih dari itu, jika dia adalah pemimpin atau penguasa yang mengatur kehidupan masyarakat, maka mentalnya harus  melebihi masyarakat secara umum, sebab pemimpin adalah pengatur urusan masyarakat.

Akan tetapi akal tidak cukup mampu untuk menentukan apakah sebuah perbuatan baik atau buruk serta terpuji atau tercela, termasuk akalnya seorang pemimpin atau akal manusia secara keseluruhan.

Bahkan akal manusia tidak mampu untuk mengklasifikasikan mana yang termasuk mental yang baik ataukah tidak, apakah mental tertentu layak dipuji ataukah sebaliknya. Contohnya saja, apakah mental tidak mudah menyerah layak mendapatkan pujian atau celaan? Kita tentu sepakat bahwa kalau tidak mudah menyerah untuk memperjuangkan kemaksiatan pastilah sangat tercela.

Oleh karena itu di dalam Agama telah dijelaskan seluruh hukum atas perbuatan-perbuatan manusia serta sifat-sifat  yang senantiasa harus menyertainya. Hukum jual-beli disertai sifat jujur di dalamnya, hukum hutang-piutang disertai sifat tepat janji, hukum perwakilan disertai sifat amanah di dalamnya, semua harus diamalkan atas landasan Ibadah, bukan karena ada atau tidak adanya manfaat di dalamnya.

Karut marut kondisi Indonesia mulai dari tercorengnya dunia pendidikan yang diwarnai dengan aksi tawuran antarpelajar, pergaulan bebas, narkoba, kriminalitas anak, hingga masalah UAN (Ujian Akhir Nasional), ditengarai karena kurangnya pendidikan budi pekerti atau pendidikan berkarakter. Di bidang politik dan hukum, maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh politisi dan kepala daerah juga diindikasi karena tidak adanya ‘mental bersih’ di kalangan pejabat birokrasi. Kondisi ini menjadikan ide ‘revolusi mental’ adalah sesuatu yang harus dan mendesak untuk diterapkan agar kondisi Indonesia jauh lebih baik. Namun pertanyaannya adalah, semakin membaikkah kondisi Indonesia?

Individu yang Baik butuh Sistem yang Baik

Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Manusia berinteraksi dan dipengaruhi oleh manusia lainnya dan lingkungannya, yaitu kondisi masyarakatnya dan aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tersebut. Oleh karena itu, tegaknya masyarakat harus ditopang oleh 3 pilar, yaitu individu, masyarakat dan negara. Manusia tentulah ingin hidup di tengah-tengah masyarakat yang baik, saling peduli dan menegakkan nilai-nilai yang baik juga, hanya saja, apa standard nilai-nilai yang baik itu? Sebagai seorang Muslim tentu kita memahami bahwa nilai-nilai yang baik itu ada pada Islam.

Sehingga untuk menjaga masyarakat ini agar menjadi masyarakat yang memiliki nilai yang baik, dibutuhkan pilar pertama yaitu ketakwaan individu sebagai anggota masyarakat, masyarakat yang saling mengontrol satu sama lain sebagai pilar kedua, dan negara yang menerapkan sistem sebagai pilar ketiga dan menjadi subjek yang menerapkan sistem di tengah-tengah masyarakat dan sebagai penentu masa depan masyarakatnya.

Dengan demikian ‘revolusi mental’ menjadi tidak mencukupi untuk sebuah solusi fundamental dari problem yang kompleks, sebagaimana problem yang terjadi di Indonesia. Merakyat tidak otomatis mensejahterakan rakyat, sederhana tidak menjamin menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman kapitalis. Solusi haruslah setaraf dengan problemya, problem sistemik, solusinya harus sistemik juga. Mengapa ‘revolusi mental’ tidak mencukupi untuk menyelesaikan problem? Karena mental ada pada individu, sedangkan komponen pembentuk masyarakat tidak sekedar individu, tapi lebih dari itu, masyarakat butuh aturan, butuh sistem yang diterapkan kepada mereka.

Penguasaan kekayaan dan sumber daya alam oleh segelintir orang bermodal besar, ketimpangan ekonomi yang semakin tajam antara orang kaya dan orang miskin, disfungsi dalam keluarga, bertukar peran antara suami dan istri, suami di’rumah’kan karena PHK dan istri akhirnya mencari nafkah, pendidikan anak terabaikan menjurus pada semakin tinggi angka kenakalan remaja.

Kondisi ini menjadikan pilar-pilar penting dalam negara, yaitu perempuan, keluarga dan generasi menjadi rapuh. Sistem ini yang menjadi sebab berbagai bentuk kesengsaraan yang dihadapi masyarakat, karena sistem ini yang aturannya bisa dipelintir dengan jalan ‘membeli suara’.

maka bila Pemilik Ide Revolusi Mental ini tidak segera memperbaiki sistem dan hukum yang jelas serta tidak memperhatikan apa-apa yang dipikirkan oleh banyak kalangan, saya yakin

“Revolusi Mental Akan Mental.”

Saya menulis ini sebagai bagian dari masyarakat kecil yang tak punya suara yang lantang, yang tak memiliki kuasa, dan yang tak punya kebijakan untuk mengingatkan mereka yang saaat ini duduk di kursi kekuasaan, sebagai Pemimpin Bangsa ini, Negara yang besar dan kaya raya ini.

Semoga tulisan ini bisa terbaca ataupun sampai kepada mereka yang dekat dengan pemimpin yang memiliki kebijakan serta dibaca juga oleh pemilik ide Revolusi Mental.

#PerjuanganBelumUsai #DiamAdalahPenghianatan

2 Comments

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.